Minggu, 12 September 2010

Mantel Untuk Para Pecinta

Panggilan cinta itu adalah fitrah. Ia tidak dilarang agama. Bahkan kita patut bersyukur, Islam agama yang kita anut ini, bukan sekedar merestui nilai cinta tetapi juga memberikan tuntunan bagaimana seorang muslim yang saling terpaut cinta itu mengerti dan rela hakikat cinta itu adalah mulia dan tidak boleh dinodai oleh apapun namanya. Setiap muslim yang tengah jatuh cinta tidak boleh membiarkan cintanya liar bak kuda binal. Ia wajib mematuhi rambu-rambu Ilahiyah, moralitas yang hidup di masyarakat serta saling menjaga kehormatan dan martabat kemanusiaan dua belah pihak.

Oleh sebab dalam agama cinta itu dipandang luhur, maka segala hal yang menodai cinta itu adalah tercela dan dipandang sebagai perilaku zalim. Bentuk kezaliman dimaksud adalah menjadikan cinta sebagai alasan kedua belah pihak untuk bebas “bereksperimen” dalam rimba birahi yang tak berujung kecuali berujung kepada zina. Sementara pada kutub yang berlawanan arah, adalah sikap rigid terhadap naluri cinta. Sikap ini juga dipandang tercela sebab berpaling dari fitrah insaniyah. Yaitu sikap membunuh fitrah bahwa manusia secara alami memiliki syahwat kepada lawan jenis dengan memilih pola hidup tabattul (membujang) dan kerahiban.  
Pemuda muslim yang memahami arti cinta secara sederhana dan benar, dialah yang berhasil menempatkan posisinya di antara dua kutub ekstrem dunia percintaan tadi. Dia tidak terjebak kepada “liberalisme cinta” yang gemar bereksperimen dengan segala kebebasannya juga tidak berada pada ”nihilisme cinta” yang mengekang dan mengebiri dirinya sedemikian rupa dari hasrat manusiawinya. Merekalah generasi muda muslim yang punya rasa cinta yang tulus, bersih dan patuh pada aturan main syari’ah. Yaitu, mereka yang menutup aurat serta rela menahan pandangan dan farajnya dari mendekati zina. Meskipun rasa cintanya sekuat gemuruh ombak di lautan.
Zaman di mana kekuatan syaithan diperlengkapi dengan armada teknologi saat ini, pintu-pintu dan lorong-lorong perzinahan hampir terbuka 24 jam. Bukan lagi sebagai rahasia, bahwa tempat-tempat pelacuran, iklan, reklame, fashion, hiburan serta budaya pornografi dan pornoaksi tetap berdiri kukuh meskipun ada Undang-Undang yang melarangnya. Bagi pemuda muslim yang telah ”direndam” dalam shibghatullah, semuanya itu tidaklah berarti. Sebab menurutnya, sejahat-jahatnya syaithan, ia hanya sebatas menggoda, merayu dan menyuruh. Sedangkan eksekutornya adalah manusia itu sendiri. Syaithan hanya menyuruh berzina, sementara yang melakukannya justru adalah manusia. Dan di akhirat nanti, syaithan tidak dapat dituntut pertanggungjawaban atas bujuk rayunya. Manusia jugalah yang akan menghadapi resiko akibat menuruti rekomendasi syaithan yang hakikatnya adalah musuhnya sendiri.
Tetapi lain halnya dengan pemuda dengan predikat para pecinta yang liar. Penganut madzhab ”liberalisme cinta” itu seolah bertekuk lutut dengan kekuatan syahwat. Akalnya lebih pendek dari nafsunya. Angannya terlampau panjang melewati amalnya. Menjadilah ia sebagai budak nafsu. Maka kesenangannya adalah zina, kebanggaannya adalah mempertontonkan aurat, kehidupannya adalah ikhtilath. Sementara kebenciannya adalah hijab. Maka hilang pulalah rasa malunya.
Lain pula dengan pemuda yang mengurung diri dalam biara kerahiban. Penganut ”nihilisme cinta” itu pernah dilukiskan dalam riwayat Imam Bukhari meskipun tidak dalam konteks yang sepenuhnya tepat. Yaitu pada saat beberapa orang sahabat mendatangi rumah isteri-isteri Nabi SAW. Mereka bertanya tentang ibadah Beliau. Setelah diberitahu, mereka merasa terlalu kecil dan tidak sebanding dengan Nabi SAW. Berkatalah mereka,” Apa artinya kita di banding Nabi SAW? Allah telah mengampuni dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang”.
Salah seorang di antara mereka kemudian berujar, ” Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka”. Seorang yang kedua mengatakan, ” Saya akan qiyamul lail terus dan tak akan pernah tidur”. Lalu orang ketiga mengatakan, ” Saya akan menjauhi perempuan, karena itu saya tidak akan pernah kawin”. Ketika berita itu sampai kepada Nabi SAW., Beliau merespon kekeliruan sikap mereka itu seraya bersabda :
Sesungguhnya Saya ini adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takut kepada-Nya di antara kalian, akan tetapi saya bangun malam dan juga tidur, saya berpuasa dan juga berbuka, dan saya juga menikahi perempuan. Barang siapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, ia bukanlah golonganku”.
Selain golongan Rasulullah dalam konteks di atas adalah tercela, sebagaimana ketercelaan perilaku mereka. Sudah setumpuk data dan segamblang-gamblangnya informasi, bahwa dampak buruk zina sebagai manifestasi dari faham ”liberilsme cinta” itu mengancam kehidupan banyak orang yang tidak terbatas kepada pelakunya tetapi juga orang lain yang tidak tahu apa-apa. Penyakit menakutkan yang bukan saja menggerogoti ketahanan tubuh tapi juga ketahanan mental penderitanya, hingga kini belum ditemukan obatnya yang mujarab; AIDS. Penularannya kepada janin yang tak berdosa, semakin merisaukan dan menyayat hati. Belum lagi resiko kematian akibat aborsi dan nasib janin yang dilempar bagai sampah semaunya. Bahkan sampah kadang masih diberi tempat, bagus pula tempatnya. Tetapi tidak untuk abortus hasil zina, ia bisa dibuang dimana saja dan dimana suka. Dikubur tanpa kehormatan. Bahkan dihinakan serendah-rendahnya dalam perangkap kubangan septic tank. Jika pun ada yang lahir dan tumbuh dewasa, ia dianggap membawa cacat genetik akibat ketidakjelasan garis nasabnya siapa dan yang mana. Hatinya dilukai, harga dirinya dikoyak dan hidupnya dipermalukan dengan sebutan ”anak haram”. Sebuah sebutan tidak adil yang menghukum. Sebutan yang lahir dari kebencian kolektif terhadap zina sekaligus ketidakpahaman atas siapa yang sebenarnya dibebankan tanggungan dosa pelakunya.
Lalu dimana ketercelaan orang-orang yang disebut oleh Imam Bukhari tadi? Mereka tercela karena tidak bercermin kepada Rasulullah. Mereka keliru, seolah ingin malampaui Rasulullah dalam hal ketaatan dan ibadah kepada Allah. Padahal soal ketaatan dan ibadah tidak bisa dirancang sendiri, apalagi berdasarkan hawa nafsu dan perasaan belaka. Melainkan harus berittiba’ kepada manusia yang datang kepadanya malaikat Jibril yang membawa pesan wahyu Al-Qur’an. Dialah Muhammad SAW. Menurut riwayat Sa’ad bin Abi Waqqas, salah seorang dari ketiga mereka itu adalah Utsman bin Mazh’un. Semangat mereka untuk menjadi yang terbaik memang ok. Apalagi terbaik dalam ketaatan dan ibadah hingga ada hasrat kuat untuk bisa sampai pada level ke-Nabian. Tetapi sayangnya, niat baik itu menggiring mereka keluar dari medium wahyu dan sunnah yang Rasulullah sendiri masih hidup di tengah-tengah mereka.
Beruntunglah mereka terselamatkan dari ketersesatan. Beruntunglah mereka hidup pada kurun sebaik-baiknya masa kenabian. Generasi yang meraskan sentuhan langsung tangan dingin Rasulullah, mengalami situasi psikologis wahyu turun bahkan kadang menjadi subjek atas proses asbabun nuzul.
Sekarang, harapan ummat bergantung pada pemuda arif yang dengan gagahnya dapat melepaskan diri dari perangkap kepalsuan cinta dan kebencian kepadanya. Padahal mereka memiliki rentang jarak waktu yang teramat jauh dengan masa tabi’in sekalipun. Mereka adalah laksana pemuda Yusuf yang mengenakan mantel ”libbasuttaqwa”. Biarpun bujuk rayu syahwat begitu manis terdengar, tapi di telinganya terdengar pekak. Di matanya terlihat siksa dan di hidungnya tercium aroma menjijikkan. Semuanya hanya kerena takut kepada Allah yang mengwasinya di saat ramai dan sendirian. Setiap muslim seharusnya dapat mengenali, bahwa sebaik-baik mantel yang dapat melindungi generasinya dari berbagai serangan yang mematikan di setiap zaman adalah ”libaasuttaqwa”. Begitu juga kesadaran atas surah Yusuf yang kadang dibacakan ketika kehamilan tujuh atau empat bulan ditradisikan, mestinya tidak berhenti pada dimensi kulit. Di mana harapan dilambungkan agar kelak si cabang bayi setampan Nabi Yusuf. Padahal amatlah berbahaya, apabila elok rupa tampan rupawan berjalan sendirian tanpa mantel Yusufnya. Tapi tentulah ada yang sampai kepada hakikat mantelnya itu. Meskipun jumlahnya tidak bisa dipastikan.
Hai para pecinta, kenakan mantel Yusuf mu! Ramadhan saatnya berpikir ulang soal cinta. Apakah selama ini anda menanggalkan mantel itu? Kenakanlah kembali dan jangan lepaskan sampai kemampuan datang mengantarkanmu kepada pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar