Kamis, 31 Oktober 2013

Siapakah Aku?


Ini merupakan pertanyaan mendasar yang dibutuhkan jawabannya oleh setiap manusia. Individu disebut sehat secara psikologis jika menemukan dirinya sebagai pribadi unik tanpa keterpisahan dari orang lain. Kendati perasaannya menyatu dengan semua orang, ia tidak meleburkan diri pada kelompok secara membabi buta alias mengenakan identitas massa.

“Saya seorang pengusaha”, “saya seorang polisi”, “saya seorang dokter”, “saya orang Jawa”, ”saya keturunan Arab”, “saya beragama Islam”, “saya orang Katolik”, dan sebagainya merupakan pernyataan yang dapat sangat berarti. Kebangsaan, suku, agama, status/profesi sering kali membantu memberikan rasa identitas sebelum seseorang menemukan yang asli dan unik.

Untuk mengetahui adanya kesadaran mengenai identitas sejati dalam diri kita, dapat dibayangkan dengan mengandaikan situasi ketika seseorang bertanya, “Siapakah aku menurut yang kamu ketahui?” Mungkin ada yang menjawab, “Kamu seorang pengusaha yang sukses” atau “Kamu orang Ambon beragama Islam”, dan lain-lain.
Apakah kita cukup puas dengan mengetahui identitas kita seperti itu?  Apakah kita sudah merasa sangat berharga dengan keanggotaan kita dalam suatu kelompok kebangsaan, suku, agama, status/profesi?

Jawaban seperti itu tidak akan cukup memuaskan orang yang telah menemukan siapa sejati dirinya. Ia baru akan puas bila mendapat jawaban yang sesuai dengan pengenalannya terhadap diri sendiri yang unik, seperti “Kamu itu sersan: tampak santai-santai ternyata serius,” atau “Kamu orang yang unik: tegas tetapi lembut juga,” atau “Kamu ini bertampang residivis, tetapi berhati malaikat,” dan sebagainya.

Namun, penemuan identitas diri sebenarnya tidaklah sesingkat jawaban-jawaban tersebut. Hal yang paling mendasar dalam penemuan identitas diri sejati adalah adanya perasaan sebagai individu yang unik, merasakan “aku” sebagai pusat dan subyek aktif dari potensi-potensinya, dan mengalami dirinya apa adanya, bebas dari tekanan otoritas tertentu.

Kebalikan dari penemuan identitas diri adalah keadaan individu yang menggantungkan identitasnya pada hal-hal yang bersifat eksternal, umumnya bergantung pada kelompok di mana ia menjadi bagiannya.

Tidak semua orang dapat menemukan identitas diri sejati. Mayoritas dari kita masih mengenakan identitas massa: mengabaikan potensi untuk berpikir-merasa-bertindak secara asli sesuai “cita rasa” sejatinya. Kita menggantikannya dengan pikiran, perasaan, dan tindakan sesuai dengan yang diinginkan oleh kelompok di mana kita menjadi bagiannya atau yang diinginkan oleh otoritas tertentu.

Kebutuhan identitas

“Aku adalah sebagaimana keinginanmu” merupakan judul sebuah drama yang pernah ada. Erich Fromm dalam bukunya, The Sane Society, melihat bahwa drama yang ditulis oleh Pirandello itu mencerminkan kondisi di mana rasa identitas seseorang bersandar pada rasa yang dimiliki oleh orang banyak tanpa dapat dipertanyakan (dikritisi).

Uniformitas (penyeragaman dalam berpikir, merasa, dan bertindak) dan konformitas (mengikuti sikap dan perilaku kelompok) sering kali tidak disadari dan diselubungi dengan ilusi individualitas.

Menurut Fromm, problem rasa identitas tidaklah seperti yang dipahami orang pada umumnya: semata-mata dianggap sebagai problem filosofis. Kebutuhan akan rasa identitas keluar dari kondisi dasariah eksistensi manusia dan merupakan sumber perjuangan yang amat intensif. “Karena saya tidak dapat sehat tanpa rasa aku, saya terdorong berbuat apa saja untuk mendapatkan rasa tersebut.”

Lebih lanjut Fromm menjelaskan, di balik penderitaan yang berat, status dan konformitas begitu dibutuhkan dan kadang lebih kuat dari kebutuhan untuk bertahan hidup secara fisik.

Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta orang rela mempertaruhkan hidup, mengorbankan cinta, menyerahkan kebebasan, mengorbankan ide-ide demi menjadi suatu kelompok yang konformis, dan dengan demikian memperoleh rasa identitas, walaupun hanya ilusi belaka.

Masyarakat kita
Fakta yang disebutkan oleh Fromm pada tahun 1955 dengan konteks masyarakat Amerika itu masih tampak dalam masyarakat kita saat ini. Identitas massa tampak dari adanya orang-orang yang tidak berani berpikir, berpendapat, bersikap, dan bertindak berbeda dari kelompok di mana ia menjadi bagiannya kendati kelompoknya melakukan kesalahan.

Identitas massa juga tampak dari fenomena saat para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, dan juga anak-anak digiring untuk melakukan aksi (demonstrasi atau mengikuti arus pikiran tertentu) tanpa benar-benar memahami maknanya.

Bila ditanya mengapa ia melakukan aksi itu, jawaban yang diberikan akan dicari-cari sesuai dengan apa yang kira-kira diharapkan oleh pihak yang memiliki otoritas atas dirinya atau oleh pemberi perintah.

Tampak bahwa jawaban yang diberikan bukan bersumber dari pemikiran atau perasaan asli dari dalam dirinya. Ekspresi mereka tampak kosong dengan mata bergerak mencari-cari. Atau sebaliknya, justru berlebihan dalam ekspresi, tetapi tetap tampak sebagai pembeo.

Kita juga dengan mudah menemukan bagaimana para orang dewasa (bukan hanya orang muda atau anak-anak) masih senang menyatakan, “Saya hanya menjalankan perintah” atau terlalu sering menyatakan, “Menurut petunjuk …….”.

Begitu sering kita menemukan fenomena identitas massa, tak lain merupakan hasil pendekatan otoriter yang diterapkan secara kolektif pada masa lalu. Pada level pemerintah, kita mengenal rezim Soeharto yang selama 30-an tahun menggunakan pendekatan militeristik. Pada level keluarga, banyak orangtua yang mengalami keotoriteran penguasa meneruskan pendekatan itu dalam keluarga.

Bukan hanya keotoriteran yang memungkinkan berkembangnya identitas massa. Dalam masyarakat, kita juga dapat melihat berbagai gaya hidup telah menjadi begitu penting dan “mengatur” bagaimana orang mengembangkan identitas dirinya.
Tampak kegelisahan orang-orang untuk selalu dapat mengikuti gaya hidup tertentu yang pada umumnya berbau materialisme. Mereka telah berilusi “menemukan identitas diri” dengan menjadi bagian dari kelompok dengan gaya hidup tertentu.

Identitas dan moralitas
“Malu” merupakan hal yang diharapkan oleh masyarakat bila seseorang diketahui melakukan tindakan amoral, melanggar norma masyarakat. Rasa malu merupakan pertanda bahwa seseorang mempertimbangkan pikiran dan perasaan masyarakat pada umumnya.

Memiliki rasa malu memang lebih baik daripada tidak memiliki rasa malu ketika seseorang berbuat amoral. Namun, bila hanya memiliki rasa malu, tanpa merasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri, hal itu berarti ia masih membuka peluang diri untuk melakukan tindakan amoral berikutnya asalkan tidak diketahui oleh masyarakat. Identitas diri yang dikembangkan orang seperti ini masih berupa identitas massa.

Hal yang paling penting bila seseorang berbuat amoral adalah adanya rasa bersalah karena telah mengingkari suara hatinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah mengembangkan identitas diri tidak hanya berdasarkan otoritas massa, tetapi juga telah bersentuhan dengan suara hati yang merupakan sumber dari identitas sejati yang dapat dimiliki setiap orang.

Mental yang sehat
Kebutuhan fisik (makan, minum, seks) merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak berbeda dengan binatang. Meskipun kebutuhan dasar ini sepenuhnya terpuaskan, bukanlah jaminan bagi kesehatan dan kesejahteraan mental. Fromm berpendapat bahwa kesehatan dan kesejahteraan mental bergantung pada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang khas manusiawi: kebutuhan akan keterbukaan hubungan, transendensi (menyadari sebagai manusia ciptaan dan kebutuhan untuk mengatasi keadaan sebagai ciptaan yang pasif), keberakaran (menemukan akar-akar manusiawi yang baru), rasa identitas, serta kerangka orientasi (intelektual) dan pengabdian. Tampak kebutuhan akan rasa identitas merupakan salah satu dari kebutuhan khas manusiawi.

Bila kebutuhan dasar tidak terpenuhi, akan berkembang kondisi tidak sehat. Kendati terpenuhi, jika hal itu terpuaskan dengan cara tidak memuaskan, akan timbul konsekuensi berkembangnya neurosis (gangguan mental dalam keadaan masih dapat berinteraksi dengan orang lain berdasarkan realitas).

Secara ringkas, Fromm menjelaskan, kesehatan mental dicirikan oleh kemampuan mencintai dan mencipta dengan melepaskan diri dari ikatan-ikatan inses terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman akan diri sebagai subyek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya, dengan menangkap realitas di dalam dan di luar diri, melalui pengembangan obyektivitas dan akal budi.

sumber

Mengelola Perasaan Iri

Iri ternyata tidak selalu memiliki konsekuensi negatif, tetapi justru dapat mendorong seseorang untuk merefleksikan diri dan mengembangkan diri. Namun, kapan dan bagaimana agar iri justru memiliki pengaruh positif seperti itu?

Iri adalah emosi negatif, berupa perasaan tidak senang atau sakit hati terhadap apa yang dimiliki atau apa yang dicapai (keberhasilan) orang lain, yang kita juga ingin miliki atau capai.

Ini hampir sama dengan sirik (schadenfreude) yang berarti perasaan senang melihat orang lain gagal atau susah. Orang yang iri biasanya sekaligus sirik. Orang yang tidak senang melihat orang lain sukses tentu sekaligus senang bila melihat orang lain gagal.

Tulisan sebelum ini telah menguraikan mengapa dan bagaimana iri terjadi. Iri merupakan konsekuensi dari pembandingan diri dengan orang lain (perbandingan sosial). Pada satu sisi, dengan perbandingan sosial, kita dapat mengembangkan diri berdasarkan apa yang kita ketahui melalui pengamatan kita terhadap orang lain. Di sisi lain, perbandingan sosial juga dapat menimbulkan perasaan iri. Sebagai emosi negatif, iri dan sirik tentu saja berpotensi mengganggu suasana hati.

Semakin seseorang mudah iri atau semakin kuat intensitas perasaan iri, maka ia akan semakin gelisah akibat rasa tidak suka dan sakit hati. Hal yang lebih dari itu juga dapat mengganggu hubungan interpersonal. Seperti yang sering digambarkan dalam sinetron-sinetron, iri dapat memicu tindakan-tindakan agresi, kekerasan, bahkan kriminal.

Di dalam keluarga, iri antarsaudara sekandung (sibling rivalry) membuat satu sama lain saling menyakiti. Di lingkungan kerja, iri akibat rasa ketidakadilan, akibat kesuksesan orang lain, dan lain sebagainya, dapat menimbulkan tindakan jegal-menjegal dalam karier atau akses-akses ekonomi.

Seperti halnya marah atau dendam, pada akhirnya iri justru merugikan orang yang bersangkutan. Itulah sebabnya diperlukan kemampuan untuk mengelola perasaan iri agar hal itu tidak berkembang destruktif atau merusak, baik bagi diri sendiri maupun orang lain dalam hubungan interpersonal.

Hasil survei
Masih dari hasil penelitian oleh Faturochman, dosen Psikologi UGM, salah satu hasil yang diperoleh menunjukkan data tentang respons atau tindakan yang dilakukan oleh responden ketika mengalami iri. Tindakan-tindakan tersebut ada yang bersifat konstruktif, ada yang netral, dan ada pula yang destruktif.

Tindakan atau respons konstruktif ditunjukkan dengan jawaban: menjadi motivasi, bilang kepadanya, introspeksi, menjalin relasi, meminta saran, memberi apresiasi, dan kontrol emosi. Respons netral ditunjukkan dengan jawaban: tidak ada yang khusus dan biasa saja. Adapun respons destruktif ditunjukkan dengan jawaban: memendam, mendiamkan, bersaing, tidak suka, kecewa, dan menghindar.

Lepas dari kemungkinan bahwa responden tidak menjawab apa adanya atau cenderung menunjukkan kesan positif dalam merespons survei, kenyataannya, pernyataan mereka mengenai tindakan ketika mengalami iri adalah bervariasi.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan seseorang bila mengalami iri memang tidak selalu destruktif (baik bagi diri sendiri maupun bagi relasi sosial). Atas dasar respons-respons netral atau respons konstruktif yang tergambar dalam penelitian, kita mendapatkan gambaran bahwa iri dapat dikelola agar konstruktif.

Pengelolaan
Menengok kembali hasil survei yang telah disajikan pada tulisan sebelum ini diketahui bahwa ada empat kategori responden yang memiliki kombinasi pengalaman iri dan diirikan, yaitu: (1) yang pernah merasa iri dan diirikan; (2) yang pernah merasa iri, tetapi tidak merasa pernah diirikan orang lain; (3) yang merasa tidak pernah iri, tetapi pernah diirikan; (4) yang tidak pernah merasa iri dan diirikan.

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, tampak bahwa kelompok pertama dan kedua memiliki pengalaman iri. Berdasarkan dua kategori individu dalam hal iri itu, berikut ini saran pengelolaannya.

Bila kita termasuk dalam kategori individu yang pernah merasa iri dan diirikan, maka yang penting adalah kita mencermati kecenderungan diri kita sendiri, seberapa sering dan seberapa dalam pengalaman iri dan diirikan itu.

Bila pengalaman iri dan diirikan jarang terjadi, maka kemungkinan penyebab iri yang dialami ialah adanya situasi yang secara obyektif memicu perasaan iri (ketidakadilan dan sebagainya) atau karena berkembangnya konsep diri negatif dalam situasi tertentu. Munculnya iri seperti ini hanya memerlukan sedikit pengelolaan.

Bila penyebabnya situasi yang secara obyektif memicu perasaan iri, maka langkah yang diperlukan adalah mencari solusi atas masalah atau mengambil tindakan alternatif untuk melepaskan diri dari situasi yang menimbulkan iri.

Bila penyebabnya konsep diri negatif dalam situasi tertentu, langkah yang diperlukan adalah mengenali keterbatasan diri dan mengusahakan pengembangan diri, atau dengan menerima kenyataan bahwa setiap orang memiliki keterbatasan.

Adanya pengalaman diirikan yang melengkapi pengalaman iri yang jarang, atau hanya sesekali terjadi, menunjukkan bahwa individu ini kemungkinan memiliki hal-hal positif sehingga ada orang yang mengiri. Ditambah pengalaman iri yang hanya sesekali terjadi, kemungkinan besar secara umum individu ini memiliki konsep diri yang positif, dengan kelemahan-kelemahan dalam hal tertentu.

Dalam menghadapi pengalaman iri, individu jenis ini mungkin memiliki respons netral terhadap rasa iri atau bahkan konstruktif. Bila ada respons destruktif, maka hal itu mungkin sekadar kecewa. Lain halnya bila pengalaman iri dan diirikan sering terjadi dengan intensitas yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut berproses menemukan dirinya.

Selain mungkin disebabkan oleh kurangnya interaksi sosial, orang ini mungkin terbiasa diunggulkan di dalam lingkungan keluarga, kurang berpengalaman menerima diri apa adanya, atau dibesarkan dalam situasi kompetitif. Ia memfokuskan harga dirinya pada keunggulan-keunggulan diri dibanding orang lain.

Ia sangat intensif melakukan perbandingan sosial, dengan kecenderungan mencari pengalaman yang meningkatkan rasa harga dirinya atau menghindari penurunan harga diri dalam perbandingan dengan orang lain. Akibatnya, ia tidak menginginkan kelebihan dan kesuksesan orang lain, dan ingin melihat orang lain gagal atau terkalahkan dengan membuat diri sedemikian rupa sehingga diirikan.

Bila kemungkinan respons terhadap pengalaman iri itu ditinjau, maka mungkin individu-individu dengan tipe ini lebih cenderung mengembangkan respons destruktif, seperti mendiamkan, bersaing, tidak suka, kecewa, dan menghindar.

Pengelolaan diri yang diperlukan adalah dengan belajar menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya. Diperlukan langkah mengenali kekuatan dan kelemahan diri yang dimiliki berdasarkan aspek-aspek fisik (postur tubuh, wajah, kesehatan, dan lain sebagainya), aspek psikologis (kemampuan, sifat, motif, dan lain sebagainya), aspek sosial (relasi sosial, keluarga, dan lain sebagainya), dan aspek moral-spiritual (perilaku etis, relasi dengan Tuhan, dan lain sebagainya).

Berdasarkan pengenalan diri tersebut, seseorang dapat mulai mengembangkan diri secara sehat dengan terus mengembangkan kekuatan yang ada, tanpa terlalu fokus terhadap orang lain. Kelemahan perlu diperbaiki, khususnya dalam aspek sosial, dengan cara lebih berempati terhadap orang lain.

Empati (menempatkan diri dalam posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain) merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan rasa iri atau kesenangan membuat orang lain iri.

Dengan mengembangkan diri seperti itu, ia dapat semakin matang dengan bebas dari pengalaman iri yang sesungguhnya sangat menyesakkan.

Untuk individu yang pernah merasa iri, tetapi tidak merasa pernah diirikan orang lain, individu-individu ini diduga adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan rendah diri (inferior), merasa tidak memiliki hal-hal yang dapat dibanggakan sehingga tidak ada alasan orang lain iri kepadanya.

Kemungkinan orang ini kurang memiliki pengalaman berinteraksi secara mendalam dengan orang lain, jaringan sosialnya sempit (tidak memiliki banyak relasi sosial), atau memiliki kesempatan yang kecil untuk mengekspresikan diri atau mengaktualisasi diri. Konsep dirinya kurang berkembang dan harga dirinya rendah. Bila harga diri rendah (inferior), maka orang mudah mengalami iri.

Responsnya terhadap pengalaman iri kemungkinan besar adalah destruktif. Namun, tidak seperti pada tipe individu yang memiliki pengalaman iri dan diirikan secara kuat, individu-individu yang mengalami rendah diri ini kemungkinan besar akan merespons pengalaman iri dengan sikap memendam dan kecewa.

Hal yang penting dilakukan oleh mereka yang mengalami rasa inferior ini adalah mengembangkan relasi sosial yang hangat dengan orang-orang lain. Agar memiliki keberanian, yang lebih dulu diperlukan adalah mengenali kekuatan dirinya dan lebih berfokus terhadap kekuatan-kekuatan tersebut, serta tidak berfokus pada kekurangan yang dimiliki.

Perlu diyakini bahwa setiap orang memiliki kekurangan. Hal ini perlu diyakini supaya seseorang dapat menerima kekurangan diri sebagai hal yang wajar. Pengenalan terhadap kelemahan diri hanya diperlukan sebagai pijakan untuk mengembangkan diri. Bila inferioritas telah diatasi, maka pengalaman iri akan semakin menghilang

sumber

Senangkah Anda Melihat Pesaing Sedang Susah?


Persaingan seringkali menimbulkan motivasi untuk memacu diri sendiri. Namun tidak jarang hal itu juga menimbulkan dendam terhadap pihak lawan. Baru-baru ini sebuah riset menemukan, orang memang cenderung lebih senang saat rivalnya sedang mengalami masa-masa sulit.

Keadaan tersebut dikenal dengan istilah Schadenfreude, perasaan menikmati dari masalah yang sedang diderita orang lain, khususnya yang menjadi saingan diri sendiri. Susan Fiske, salah satu peneliti studi asal Eugene Higgins Professor of Psychology and Public Affairs di Woodrow Wilson School mengatakan, cemburu dan iri sangat berkaitan erat.

"Studi ini bertujuan untuk mengonfirmasi  apakah iri dapat membuat orang bahagia jika saingannya sedang mengalami kesulitan," ujar Fiske.

Para peneliti juga melakukan percobaan menggunakan elektromigram (EMG) untuk memonitor perubahan wajah peserta jika dihadapkan dengan situasi sehari-hari. Hasilnya, saat dihadapkan gambar orang sedang kesulitan, mereka cenderung tersenyum dibandingkan dengan dihadapkan keadaan yang sebaliknya.

"Namun itu hanya berlaku bagi orang-orang yang dianggap mereka sebagai saingannya," tegasnya.

Selain menggunakan alat, para peneliti juga bertanya secara langsung pada peserta menggunakan skala 1-9. Angka satu untuk "sangat buruk" dan angka sembilan untuk "sangat baik".

Ternyata, hasilnya sama, peserta menjawab merasa lebih baik saat melihat gambar saingannya sedang dalam situasi sulit.

Sementara itu, para peneliti studi juga menemukan, orang kaya cenderung lebih mudah merasa iri terhadap kenikmatan yang dirasakan saingannya. Misalnya, orang yang saingannya mendapat bonus dari perusahaan atau berpakaian dengan baik, lebih mudah membuat mereka iri.

Studi sebelumnya menemukan, otak manusia menjadi lebih aktif pada daerah yang berhubungan dengan emosi ketika mereka melihat seseorang yang dibenci sedang menderita. Sebaliknya, daerah di otak tersebut cenderung tidak aktif saat melihat orang yang mereka sukai menderita.